Autopsi Kontrak Digital, Solusi Smart Contract Atasi Prekaritas Pekerja

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ojol
Iklan

Dengan status mitra, platform digital secara efektif mengamputasi semua tanggungjawab yang melekat pada pemberi kerja formal.

***

Jakarta,Mei 2025. Di atas meja bedah imajiner, terbaring sebuah jenazah: janji kemitraan digital. Dulu, ia lahir dengan gemilang, menawarkan fleksibilitas, otonomi dan kemakmuran bagi siapa saja yang mau bekerja keras. Kini, janji itu telah membusuk , dan meninggalkan jutaan pekerja dalam kondisi yang oleh para ahli disebut prekariat permanen, sebuah kehidupan kerja yang rapuh, tidak stabil, dan tanpa jaring pengaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Autopsi ini bertujuan untuk membedah penyebab kematiannya,menelusuri "kode kontrak" baik yang tertulis maupun terpogram dalam algoritma yang secara sistematis menjerat para pekerjanya.

Penyebab kematiaanya tidak tunggal. Ia adalah kombinasi dan ketiadaan perlindungan hukum dan belenggu teknologi yang tak terlihat. Kisah Dede Supriatna, 57 tahun, adalah satu sayatan pertama dalam autopsi ini. Setelah kehilangan pekerjaan di sebuah agen perjalanan, ia terpaksa menjadi pengemudi ojek online untuk menyambung hidup. "Kalau saya boleh memilih, saya lebih suka kerja di perusahaan,"ujarnya getir. "Kami tidak punya jaminan sosial, tidak punya asuransi. Kalau kami kecelakaan atau terjebak di tengah kerusuhan, kami sendirian," kata dia melanjutkan.

Perasaan sendirian inilah gejala patologis utama. Dede dan jutaan rekannya secara hukum diklasifikasikan sebagai "mitra", sebuah istilah yang terdengar setara. Namun, autopsi ini mengungkap bahwa label tersebut adalah sebuah fiksi hukum yang dirancang dengan cermat.

Dengan status mitra, platform digital secara efektif mengamputasi semua tanggungjawab yang melekat pada pemberi kerja formal. Ini ada "hubungan kerja terselubung" dimana platform memepertahankan kontrol penuh layaknya majikan, namun menolak memberikan hal-hal dasar layaknya karyawan .Akibatnya, semua risiko mulai dari kerusakan kendaraan, biaya kesehatan, hingga ketidakpastian di hari tua dilimpahkan seluruhnya ke pundak pekerja.

Sayatan kedua dalam autopsi ini menembus lapisan perangkat lunak, membedah "kode" yang sesungguhnya: algoritma. Jika kontrak hukum menciptakan ketiadaan perlindungan, maka kode algoritma menciptakan penjara digital.

Pekerja tidak lagi diawasi oleh mandor manusia, melainkan oleh "manajemen oleh mesin" yang dingin dan tanpa kompromi. Sistem rating, alokasi order, dan ancaman suspend adalah alat-alat bedah digital yang digunakan untuk mengontrol setiap gerak-gerik mereka.

Lily Pujiati, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), menggambarkan bagaimana algoritma ini menghapus batas antara kerja dan kehidupan pribadi. "Kadang sedang di rumah, ada pesanan masuk. Kalau ditolak, resikonya kena potong poin bahkan suspend. Benar -benar dilema," ungkapnya. Kebebasan yang dijanjikan ternyata adalah kebebasan untuk selalu patuh pada perintah mesin.

Hasil autopsi ini menunjukkan sebuah kondisis kronis yang menggerogoti tubuh ketenagakerjaan Indonesia.Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, sebanyak 59,40% dari total angkatan kerja berada di sektor informal. Di dalam lautan luas ini,para pekerja gig adalah kelompok yang paling rentan. Laporan Internasional Labour Organization (ILO) pada tahun 2021 mengungkap data yang mengkhawatirkan: hanya 15% dari pekerja gig yang memiliki asuransi kecelakaan kerja.Ini adalah angka statistik yang dingin ,namun di baliknya ada jutaan Dede Supriatma yang setiap hari mempertaruhkan nyawa di jalanan tanpa jaring pengaman.

Kondisi ini lebih dari sekedar ketidakpastian finansial ;ia adalah beban psikologis yang mendalam. Para ahli menyebutnya sebagai "Pajak kognitif"(cognitive tax), di mana kekhawatiran konstan tentang pendapatan menguras sumber daya mental yang seharusnya bisa digunakan untuk perencanaan masa depan atau pengembangan diri. Beban ini, jika dialami terus-menerus dapat menciptakan "bingkai kemiskinan"(poverty frame), sebuah kondisi dimana individu mulai menerima keadaan sulit mereka sebagai takdir yang tak dihindarkan ,kehilangan aspirasi untuk perbaikan nasib.

Bagi Dede dan jutaan perkerja lainnya,ini berarti energi mental mereka habis untuk bertahan hidup dari hari ke hari,bukan untuk merencanakan hari tua yang sejahtera atau pendidikan anak yang lebih baik.Beban ini semakin diperparah oleh isolasi sosial yang melekat pada model kerja ini.Tanpa rekan kerja di kantoran atau komunitas fisik yang solid,banyak pekerja gig mengalamai tingkat kesepian yang lebih tinggi yang berkolerasi langsung dengan peningkatan risiko depresi dan kecemasan.

Tabel Autopsi Kontrak Kemitraan Digital

Aspek Pembedahan  Kontrak Tertulis (Fiksi Kemitraan) Kontrak Algoritmik (Realitas Kontrol)
Status Pekerja  Mitra Mandiri & Setara  Pekerja Subordinat yang Terkontrol
Hubungan Pekerja  Fleksibel & Otonom  Diatur ketat oleh sistem rating & insentif
Alokasi Risiko Risiko Bisnis Ditanggung Pekerja  Semua Risiko (Kesehatan,Kecelakaan) Dilimpahkan ke Pekerja 
Jaminan Sosial Tidak Ada (Tanggung Jawab Pribadi) Ketiadaan Perlindungan Memperparah Kerentanan 
Transparansi Perjanjian Kemitraan yang Samar  Keputusan Algoritma yang Buram (Black Box)

Sumber : Diolah dari berbagai sumber 

Melihat hasil autopsi yang suram ini ,pertanyaan selanjutnya adalah : adakah harapan untuk resusitasi? Jawabanya ,ya.Pertologngan pertama yang paling cepat dan dapat diakses adalah melalui instrumen yang telah disediakan oleh negara :BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK).Progam Bukan Penerima Upah (BPU) dan BPJSTK  adalah defibrilator yang dapat segera mempompa kembali kehidupan ke dalam sistem perlindungan pekerja informal.

Dengan iuran yang sangat terjangkau ,seseorang pekerja gig dapat mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan perlindungan esensial :Jaminan Kecelakan Kerja (JKK) ,Jaminan Kematian (JKM),dan Jaminan Hari Tua (JHT).Inovasi digital melalui aplikasi JMO (Jamsostek Mobile) semakin mempermudah proses ini ,memungkinkan pendaftaran dan pembayaran iuran hanya dengan beberapa ketentuan di layar ponsel.Ini adalah solusi nyata yang dapat mengakhiri mimpi buruk Dede Supriatna dan jutaan lainnya.

Namun,untuk menyembuhkan penyakit ini secara fundamental ,kita tidak bisa hanya mengandalkan pertolongan pertama.Kita perlu merekontruksi DNA dari kontrak itu sendiri.Di sinilah inovasi teknologi menawarkan sebuah solusi radikal : smart contract atau  kontrak pintar .Smart contract adalah perjanjian digital yang ditulis dalam kode progam dan berjalan di atas teknologi blockchain .Aturan -aturan di dalamnya "jika-maka" bersifat transparan ,tidak mudah diubah ,dan diseksekusi secara otomatis tanpa perantara ketika syaratnya terpenuhi 

Bayangkan sebuah masa depan di mana Dede Supriatna dilindungi smart contract asuransi kecelakaan .Setiap hari ,sebagian kecil dari pendapatannya secara otomatis masuk sebagai premi ke dalam polis asuransi parametrik ini.Suatu hari,ia  mengalami kecelakaan Sensor IoT di motornya mencatat data benturan dan lokasi yang secara otomatis dikirim sebagai pemicu ke smart contrack.

Tanpa perlu mengisi formulir ,tanpa birokrasi,tanpa menunggu persetujuan manusia ,smart contract tersebut secara instan mentrasfer dana klaim ke dompet digital Dede untuk biaya pengobatan dan penggantian pendapatan yang hilang .Ini bukan fiksi ilmiah ;teknologi ini sudah diterapkan untuk asuransi gagal panen bagi petani di Kenya dan asuransi penundaan penerbangan.

Solusi smart contract adalah antitesis dari "kode kontrak" yang eksploitatif saat ini.Jika algoritma platform adalah kode yang mengontrol dan menjerat,maka smart contract adalah kode yang membebaskan dan melindungi.Ia menggantikan opasitas dengan transparansi,keputusan sepihak dengan aturan yang disepakati bersama ,dan birokrasi yang lamban dengan ekseskusi yang instan dan adil.Ini adalah jalan untuk membangun sebuah "birokrasi yang tidak dapat korup", di mana kepercayaan tidak lagi diletakkan pada instuisi ,melainkan pada kepastian matematis dari kode itu sendiri.Lebih dari sekedar asuransi ,smart contract dapat merevolusi seluruh spektrum hak pekerja.

Pembayaran upah dapat diotomatisasi dan dilepaskan seketika setelah pekerjaan selesai diverifikasi ,mengakhiri masalah pembayaran yang terlambat.Kontribusi pensisun dapat dikelola dalam dana yang transparan dan tidak dapat diubah .Bahkan ,kesepakatan perundingan kolektif antara serikat pekerja digital dan platform dapat dikodekan ke dalam smart contract ,memastikan bahwa janji -janji mengenai tarif minimum atau batas jam kerja ditegakkan secara otomatis dan tanpa kompromi .

Penerapan smart contract juga membuka jalan bagi model perlindungan yang lebih dinamis dan personal.Dengan bantuan Kecerdasan Buatan (AI) ,Premis asurasn dapat disesuaikan secara real-time berdasarkan perilaku.Seorang pengemudi yang terbukti berkendara dengan aman berdasarkan data telematika bisa mendapatkan premi yang lebih rendah, menciptakan insentif positif untuk keselamatan.Bagi pekerja lepas dengan pendapatan fluktuatif, iuran jaminan sosial dapat dirancang secara proposional dengan penghasilan mingguan atau bulanan mereka yang ditarik secara otomatis oleh smart contract.

Ini menghilangkan beban pembayaran iuran tetap yang memberatkan saat penghasilan sedang menurun.Kombinasi blockchain dan AI memungkinkan terciptanya sistem jaminan sosial yang "hidup" sistem yang beradaptasi dengan realistik unik setiap pekerja,bukan memaksakan satu model kaku untuk semua.

Pada akhirnya ,autopsi ini tidak bertujuan untuk meratapi kematian sebuah janji,tetapi untuk belajar darinya agar kita bisa membangun sesuatu yang lebih baik.Membangun Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan berarti memastikan bahwa setiap pekerjaanya ,tanpa terkecuali memiliki fondasi perlindungan yang kokoh .Pandangan Kementerian Keuangan yang membingkai jaminan sosial sebagai investasi krusial dalam "modal manusial  menggarisbawahi urgensi ini.

Dengan mengkombinasikan solusi yang sudah ada seperti BPJS Ketenagakerjaan dengan inovasi masa depan seperti smart contract ,kita dapat mulai menulis  ulang kode kontrak digital .Kita dapat beralih dari model kemitraan yang telah mati menuju sebuah ekosistem kerja yang benar -benar hidup,adil dan memanusiawi untuk semua. 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler